Bagi mereka yang ingin melanjutkan studi di luar negeri, kuliah sambil kerja tentu menjadi jalan keluar untuk menambah uang saku lantaran mahalnya rata-rata biaya hidup di sana. Namun, tiap negara memiliki karakteristik berbeda untuk dilakoni, itu pun kalau Anda tertarik melakukannya.

Menurut Ping Tjuan Suharna dari Japan Study, jumlah pelajar di Jepang yang saat ini menimba ilmu sambil bekerja paruh waktu mencapai 85 persen. “Rata-rata mereka kerja selingan itu selama 20 jam per minggu, Upah per jam para pelajar tersebut bisa mencapai antara 800 dan 12.000 yen atau sekitar 13.200 rupiah per jamnya.

Di sisi lain, biaya pendidikan di sekolah bahasa di Jepang saja menelan antara 680.000 dan 750.000 yen per tahun. Sementara itu, untuk biaya pendidikan di tingkat S-1 dibutuhkan dana dari 900.000 sampai 1.500.000 yen.

Nah, bisa dibayangkan, berapa besarnya biaya yang Anda keluarkan jika tanpa kerja paruh waktu? Minimal, hasil atau upah kerja tersebut bisa Anda gunakan untuk menutupi biaya hidup, baik itu untuk pergi liburan maupun sekadar beli buku tambahan di luar buku pemberian kampus.

Biaya studi di Australia lain lagi. Per tahun untuk tingkat S-1 bisa mencapai antara Rp 120 juta dan Rp 270 juta per tahun, sementara untuk S2 dari sekitar Rp 150 juta sampai Rp 300 juta rupiah per tahun. Tentunya, angka-angka tersebut belum termasuk biaya hidup, baik untuk makan, tinggal, atau liburan.

Sadar akan besarnya biaya tersebut, Pemerintah Australia pun memberikan kebijakan tersendiri sebagai jalan keluar, yaitu kebijakan kerja paruh waktu. Di masa kuliah, mahasiswa hanya boleh bekerja maksimal 20 jam per minggu. Sebaliknya, jika di waktu liburan mahasiswa boleh bekerja lebih dari 20 jam per minggu, biasanya upah kerja part time itu dari Rp 80.000 hingga Rp 150.000 per jam.

Selain itu, Pemerintah Australia juga memberikan perpanjangan visa selama 18 bulan bagi mereka yang telah lulus kuliah, baik itu di tingkat S-1 maupun S-2. Perpanjangan visa ini bisa digunakan bagi mereka yang ingin mencari pekerjaan di sana.

Eropa Lebih Ketat

Di Inggris pun sebetulnya hampir sama dengan Australia. Namun, khusus siswa yang belajar minimal enam bulan di Inggris akan mendapatkan pelayanan kesehatan gratis serta izin untuk mencari kerja paruh waktu. Maksimal sama, yaitu 20 jam per minggu selama masa kuliah dan lebih dari 20 jam pada masa liburan.

Melalui kebijakan Prime Minister Initiative (PMI) yang efektif berlaku sejak Mei 2006 lalu, Pemerintah Inggris juga memberikan kesempatan bagi seluruh siswa internasional di jalur pascasarjana (S2) untuk memperoleh izin tinggal dan bekerja secara profesional selama 12 bulan tambahan setelah lulus.

Lain halnya di Belanda. Di Negeri Kincir Angin ini, pemerintahnya membuat aturan lebih ketat untuk urusan kerja paruh waktu. Di luar musim panas, mahasiswa internasional hanya boleh bekerja selama 10 jam per minggu.

Saat musim panas waktunya lebih panjang, yaitu maksimal 8 jam per hari. Minimnya waktu untuk kerja part time ini supaya mahasiswa internasional bisa lebih fokus ke kuliah mereka.

Pengalaman Augusty Palupi di Jerman, misalnya. Mahasiswa asal Indonesia yang tengah menimba ilmu di Jerman ini mengatakan, dalam kurun waktu setahun, pelajar asing di Jerman hanya diperbolehkan bekerja selama 90 hari untuk mereka yang berkerja penuh satu hari.

Sementara itu, mereka yang kerja selama 4 jam atau separuh hari akan memperoleh waktu 180 hari kerja. “Tetapi standar gaji setiap negara tidak sama, kalau di München minimal sekitar 7 euro per jam,i.

kerelaan bekerja sambil kuliah diluar negeri adalah hal biasa di Jerman, bahkan sangat biasa. Sebaliknya, buat mereka yang baru lulus SMA di Tanah Air, kesempatan kuliah sambil bekerja di luar negeri tentu merupakan hal baru dan sangat menyenangkan.

Hal tersebut pun diakui oleh Suharna. “Karena selain disiplin mengikuti waktu yang ketat, kebijakan kerja paruh waktu di Jepang bukan sekadar demi tambahan uang saku melainkan juga untuk membuat pelajar mandiri.